Kota Salatiga, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota ini berbatasan sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang. Salatiga terletak 49 km sebelah selatan Kota Semarang atau 52 km sebelah utara Kota Surakarta, dan berada di jalan negara yang menghubungan Semarang-Surakarta. Salatiga terdiri atas 4 kecamatan, yakni Argomulyo, Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo. Kota ini berada di lereng timur Gunung Merbabu, sehingga membuat kota ini berudara cukup sejuk.
Asal usul Nama Salatiga
Pada masa wali songo. Hiduplah seorang adipati yang kaya raya namun juga terkenal karena sifat kikirnya. Adipati Pandanarang II namanya, beliau menjadi adipati di semarang. isteri adipati Pandanarang II juga memiliki sifat yang sama yaitu sangat cinta dengan harta duniawi.
Kabar ini pun terdengar oleh sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga merasa bahwa adipati Pandanarang masih memmiliki kebaikan dalam dirinya. Sehingga tidak perlu dihukum tapi disadarkan.
Esok harinya, pagi-pagi sekali. Snan Kalijaga menyamar sebagai seorang tukang rumput. Beliau membawa rumput yang bagus dan masih segar. Tatkala lewat di halaman Kabupaten, Adipati Pandanarang II menawar harga rumput dengan harga yang sangat rendah.
Penjual rumput itu pun setuju dan meletakkan rumputnya di kandang. Sebelum pergi, ia menyelipkan uang lima sen di dalam rerumputan. Uang tersebut ditemukan oleh abdi dalem Pandanarang II dan segera diberitahukan pada Adipati Pandanarang II. Kejadian ini terus berulang berkali kali.
Pandanarang II pun terheran -heran mengapa tukang rumput itu, tidak pernah menanyakan uangnya yang tertinggal. Ketika tukang rumput itu kembali esoknya, Pandanarang II menanyakan asal usul tukang rumput tsb. Dia juga menanyakan mengapa ia seolah - olah tidak butuh dengan uang.
Tukang rumput itu menjawab bahwa ia bisa mendapatkan emas dengan sekali mencangkul. Sontak saja Adipati Pandanarang marah mendengar hal itu. Ia lalu meyuruh seorang abdinya untuk mengambilkan cangkul. Tidak berapa lama, sang abdi dalem pun memberikan cangkul kepada tukag rumput yang tak lain adalah sunan Kalijaga. Dengan sangat mantap, tukang rumput tadi mngayunkan cangkul tersebut hingga tanahnya terangkat, seketika juga, tanah hasil cangkulan tersebut berubah menjadi emas.
Sang Adipati berikut para abdi dalemnya terdiam.. seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tersebut.. dan pada akhirnya Sunan Kalijaga menunjukkan jati dirinya pada adipati, supaya adipati tersebut tidak terheran-heran.
Sang Adipati meminta maaf dan memohon supaya Sunan Kalijaga berkenan menerimanya sebagai murid. Sunan Kalijaga pun menyetujuinya, dengan syarat yaitu adipati Pandanarang mau melepaskan sifat terlalu cintanya pada harta dan memberikan hartanya pada rakyat fakir miskin.
Pandanarang pun bersedia melakukannya. Isterinya(Nyai Pandanarang) juga turut menemaninya.
Namun, sang isteri masih juga belum bisa menghilangkan rasa cintanya pada harta. Secara diam-diam, tanpa sepengetahuan suaminya. Perempuan iti memasukkan emas dan permata ke dalam teken (tongkat) yang terbuat dari bambu.
Karena tongkatnya yang terlalu berat, sang isteri pun tertinggal. Dia pun menyuruh suaminya supaya berangkat lebih dulu agar bisa menyusul sunan Kalijaga. Adipati Pandanarang akhirnya bisa menyusul Sunan Kalijaga. Mereka berdua(Sunan Kalijaga dan adipati Pandanarang) menempuh perjalanan bersama.
Di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh 3 orang perampok. Perampok itu tidak menyadari kalau orang di depannya adalah Sunan Kalijaga.
“Kalau kalian menginginkan barang yang berharga, tunggulah disini. Nanti akan lewat seorang wanita tua. Kalian akan mendapati emas permata yang ada di dalam tongkat bambu,” kata Sunan Kalijaga.
Karena melihat mereka tidak membawa apa-apa, maka perampok tersebut membiarkan sang Sunan dan muridnya untuk lewat.
Kemudian, sampailah Nyai Pandanarang di tempat tersebut. Terlihat beliau sangat lelah, karena tongkat yang di banya sangatlah berat. Ketiga perampok tadi menghadang perempuan itu, dan mengambil tongkat bambu yang ia pegang itu. Nyai Pandanarang terpaksa harus merelakan harta emas permata yang dibawanya jauh-jauh ternyata diambil oleh perampok tadi.
Pada saat Nyai Pandanarang berhasil menyusul suaminya dan Sunan Kalijaga, dia menceritakan kejadian perampokan tadi sembari menangis.
"Untuk berguru kepadaku, kalian harus bisa meninggalkan harta duniawi. Kejadian itu merupakan kesalahanmu sendiri,” ucap Sunan Kalijaga.
Untuk mengingat kejadian itu, Sunan Kalijaga memberi nama daerah tersebut “Salah Tiga”. Karena jumlah perampok tadi ada 3 orang. *
Lama kelamaan nama salah tiga berubah menjadi Salatiga.
*Versi lain mengatakan dinamakan salah tiga karena ada tiga orang yang telah berbuat salah, yaitu Adipati Pandanarang, Nyai Pandanarang, dan perampok.
Sejarah
Ada beberapa sumber yang dijadikan dasar untuk mengungkap asal-usul Salatiga, yaitu yang berasal dari cerita rakyat, prasasti maupun penelitian dan kajian yang cukup detail. Dari beberapa sumber tersebut Prasasti Plumpungan-lah yang dijadikan dasar asal-usul Kota Salatiga. Berdasarkan prasasti ini Hari Jadi Kota Salatiga dibakukan, yakni tanggal 24 Juli 750 yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kota Salatiga Nomor 15 Tahun 1995 tentang Hari Jadi Kota Salatiga.
Prasasti Plumpungan, cikal bakal lahirnya Salatiga, tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170cm, lebar 160cm dengan garis lingkar 5 meter yang selanjutnya disebut Prasasti Plumpungan.
Berdasar prasasti di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, maka Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi, pada waktu itu Salatiga merupakan perdikan.
Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.
Konon, para pakar telah memastikan bahwa penulisan Prasasti Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para pendeta (resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah seorang raja besar pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib rakyatnya.
Isi Prasasti Plumpungan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta. Tulisannya ditatah dalam petak persegi empat bergaris ganda yang menjorok ke dalam dan keluar pada setiap sudutnya.
Dengan demikian, pemberian tanah perdikan merupakan peristiwa yang sangat istimewa dan langka, karena hanya diberikan kepada desa-desa yang benar-benar berjasa kepada raja. Untuk mengabadikan peristiwa itu maka raja menulis dalam Prasasti Plumpungan Srir Astu Swasti Prajabhyah, yang artinya: "Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian". Ditulis pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi.
MAKANAN KHAS SALATIGA
bagi yang suka wisata kuliner jangan lupa kota kecil yang penuh fantasi ini..Makanan khas merupakan salah satu kenangan yang akan dibawa pulang oleh pengunjung yang datang ke suatu daerah. Makanan khas Kota Salatiga sangat terkenal dan digemari banyak pengunjung seperti enting-enting gepuk, keripik paru, keripik usus, abon, dendeng sapi, ampyang (gula kacang), karak gendar, dan karak dele (kedelai). kripik paru dan masih banyak lagi..wah salatiga itu emang kota yang paling hot,tenang, dan sensual…wah gladrah..lanjut Makanan tersebut dijajakan di sudut-sudut kota di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Sukowati.
Selain makanan khas diatas, pengunjung dapat menikmati wedang rondhe dan jagung godhog (rebus) yang dijajakan di Jalan Jenderal Sudirman. Kota Salatiga juga terkenal dengan bakso babat dan Gudeg
Sumber : http://www.sejarahkota.com dan http://sraksruk.blogspot.com
No comments:
Post a Comment